Monday, December 1, 2008

Kompensasi Kerugian

Kompensasi kerugian merupakan salah satu insentif fiskal yang ada di negara kita. Insentif ini diberikan sehubungan dengan rasa keadilan dalam membayar pajak serta untuk memberikan dorongan pada masyarakat untuk terus berusaha mengembangkan potensi ekonominya. Sebagai insentif fiskal, keberadaan fasilitas ini pun hanya ada dalam konteks perhitungan fiskal. Secara komersial kompensasi kerugian tidak dikenal. Jika perusahaan mengalami kerugian maka secara komersial akan berakibat pada nilai laba ditahan yang menjadi turun yang selanjutnya akan menurunkan nilai perusahaan tersebut.

Secara fiskal, suatu perusahaan yang mengalami kerugian dalam suatu periode (=tahun pajak) maka kerugian tersebut bisa mereka kompensasi-kan dengan keuntungan yang perusahaan tersebut peroleh di tahun-tahun berikutnya. UU PPh Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa kerugian tersebut dapat di-kompensasi-kan selama 5 tahun berturut-turut setelah periode kerugian tersebut dialami.

Secara alamiah, fasilitas keringanan dalam pembayaran pajak ini dimanfaatkan secara maksimal oleh perusahaan. Namun sering kali pada prakteknya, fasilitas kompensasi kerugian ini sering dimanfaatkan secara berlebihan. Bahkan dalam beberapa kasus, dapat diindikasikan sebagai ajang untuk menghindari pajak. Meskipun dari beberapa cara yang dilakukan sebagian memang masih dalam koridor peraturan yang berlaku.
Optimalisasi umur kompensasi kerugian.

Beberapa kasus terjadi dalam hal memperpanjang masa manfaat dari kompensasi kerugian. Kompensasi kerugian meskipun secara UU dinyatakan hanya bisa dilakukan selama 5 tahun, namun ternyata masih bisa dioptimalkan sehingga bisa melebihi masa 5 tahun. Hal ini tentu dilakukan dengan secara tidak langsung dan masih dalam koridor peraturan yang berlaku.

Misalkan perusahaan PT. XYZ memiliki kompensasi kerugian yang belum habis setelah 5 tahun berlalu. Maka dia bisa mengoptimalkan nilai dari hak kompensasi kerugian tersebut dengan cara melakukan revaluasi aktiva tetapnya. Hasil revaluasi ini tentu saja meningkatkan nilai aktivanya. Peningkatan nilai aktiva juga berarti timbulnya keuntungan yang secara fiskal menjadi objek pajak. Namun dikarenakan masih memiliki sisa kerugian yang masih bisa dikompensasikan maka keuntungan tersebut dapat dia kompensasikan. Pada akhirnya nilai pajak dari keuntungan revaluasi menjadi nihil.
Secara sederhana dari kasus di atas terlihat bahwa perusahaan hanya mengkompensasikan selama 5 tahun. Namun disisi lain, transaksi revaluasi tersebut meningkatkan nilai dari aset mereka. Hal ini mengakibatkan untuk tahun-tahun berikutnya nilai depresiasi dari aset yang telah direvaluasi menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan secara tidak langsung efek dari kompensasi kerugian dapat mereka manfaatkan lebih dari 5 tahun. Dalam hal ini, manfaat pengurangan atas Penghasilan Kena Pajak masih bisa dinikmati untuk tahun-tahun selanjutnya.

”Membeli” kompensasi kerugian
Kasus lain yang terjadi adalah dengan cara ”membeli” kompensasi kerugian perusahaan lain. Istilah membeli disini diartikan sebagai suatu cara untuk menikmati kompensasi kerugian yang dimiliki oleh perusahaan lain dengan suatu pengorbanan tertentu. Pengorbanan dalam hal ini berupa biaya transaksi untuk memperoleh nilai kompensasi kerugian ini.

Jika diperhatikan, seringkali terjadi suatu perusahaan yang ”besar” dan bonafide yang diperkirakan selalu mendapatkan laba tetapi pada kenyataannya tidak membayar pajak (badan). Hal ini tentu merupakan suatu kejanggalan, namun jika ditelisik lebih jauh belum tentu merupakan suatu pelanggaran dari ketentuan yang berlaku. Salah satu hal yang bisa menyebabkan terjadinya keadaan ini adalah adanya hak mengkompensasikan kerugian. Tapi bagaimana mungkin perusahaan perusahaan besar dan bonafide tapi memiliki kompensasi kerugian ?

Contoh kasus, suatu perusahaan PT. PQR suatu perusahaan yang bonafide yang pada suatu periode menghasilkan laba yang cukup besar. Dalam periode yang sama PT. PQR juga melakukan transaksi merger ataupun merger dengan perusahaan lain. Transaksi ini merupakan hal yang biasa terjadi dalam kegiatan bisnis. Dengan alasan ekspansi, efisiensi, menyelamatkan aset investasi maupun alasan lainnya, transaksi ini bisa dilakukan. Efek dari transaksi ini bisa menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Namun tentu saja pertimbangan keuntungan yang menjadi tujuan utama dari dilakukannya suatu transaksi.

Seringkali kita menjumpai beberapa perusahaan melakukan merger perusahaan yang merugi. Secara kasat mata merger ini akan merugikan perusahaan dikarenakan akan menurunkan nilai perusahaan serta tidak memberikan nilai tambah apapun bagi perusahaan. Bahkan beban utang perusahaan transferor menjadi tanggungan bagi perusahaan survivor. Meskipun demikian seringkali merger semacam ini terjadi. Secara komersial mungkin hal tersebut merupakan sesuatu yang irrasional. Namun dengan perhitungan yang matang, hal yang irrasional tersebut sebenarnya memiliki trade-off yang layak bahkan menjadi sesuatu yang sangat rasional.

Secara fiskal, merger dengan perusahaan merugi akan juga mengakibatkan perpindahan hak untuk meng-kompensasi-kan kerugian kepada perusahaan survivor. Sehingga perusahaan survivor, dalam contoh ini PT. PQR mendapat warisan hak kompensasi kerugian dari si perusahaan transferor. Sehingga nilai Pendapatan Kena Pajak PT. PQR menjadi berkurang, yang pada akhirnya pajak yang terutang dari PT. PQR pun bisa berkurang, menjadi nihil atau bahkan menjadi lebih bayar. Maka inilah yang sebenarnya dicari oleh PT. PQR, yaitu berupa trade-off dari penurunan nilai perusahaan ataupun biaya-biaya merger dengan penurunan beban pajak yang harus dia tanggung.

Kesimpulan
Dari contoh kasus di atas dapat kita ketahui bahwa fasilitas kompensasi kerugian yang diberikan dapat dimanfaatkan secara berlebihan. Dalam beberapa kasus fasilitas tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang tidak secara langsung mengalami kerugian tersebut. Meskipun jalur yang ditempuh masih berada dalam aturan yang berlaku. Namun secara halus transaksi yang terjadi merupakan suatu bentuk penghindaran pajak dengan menggunakan insentif yang diberikan. Ini mengakibatkan apa yang diharapkan dari insentif yang ada tidak tepat sasaran.

Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut perlu kiranya pemerintah dalam hal ini DJP sebagai otoritas fiskal mengkaji lebih jauh lagi aturan mengenai kompensasi kerugian ini. Hal ini agar penerapan prinsip ability to pay dalam pembayaran pajak menjadi lebih baik. Bahkan lebih jauh lagi agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat.

Firman Raharja 102007
Dipublikasikan di Majalah Berita Pajak edisi November 2007